Ticker

6/recent/ticker-posts

Korupsi Triliunan, Masyarakat Apatis 'Bobrok' Proses Hukum | LihatSaja.com


LIHATSAJA.COM - Para penegak hukum, Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Polri setidaknya menangani kasus korupsi penjualan kondensat bagian negara oleh PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) yang merugikan negara sekitar Rp37,8 triliun. Kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap.

Kemudian Kejagung mengusut korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,8 triliun. Enam terdakwa sudah divonis bersalah dan dipidana penjara seumur hidup, -satu tersangka banding dan hukumannya dipotong menjadi 20 tahun penjara.

Kemudian dugaan korupsi pengelolaan dana investasi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) ditaksir merugikan negara Rp23,7 triliun serta dugaan korupsi BPJS Ketenagakerjaan ditaksir merugikan negara Rp20 triliun.


Sementara itu, KPK setidaknya masih mendalami beberapa kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, seperti proyek e-KTP sekitar Rp2,3 triliun, BLBI sebesar Rp5,4 triliun, serta dugaan suap Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi yang merugikan negara sekitar Rp5,8 triliun.

Dalam kasus e-KTP beberapa pihak sudah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk mantan Ketua DPR yang juga politikus Partai Golkar Setya Novanto. Sedangkan dalam kasus BLBI, lembaga antirasuah itu menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

Penanganan kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara triliunan rupiah ini patut diapresiasi. Namun, tak sedikit yang sangsi bahwa proses hukum tersebut akan benar-benar memberikan efek jera dan mengembalikan kerugian negara.

Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan proses hukum kasus korupsi, baik yang merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah membutuhkan keseriusan para penegak hukum, termasuk hakim di pengadilan.

Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2019, rata-rata vonis majelis hakim kepada para koruptor hanya dua tahun tujuh bulan penjara. Belum lagi, hakim yang memotong hukuman pidana pada tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.


Terbaru misalnya, vonis mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo yang diubah dari semula penjara seumur hidup menjadi penjara 20 tahun di tingkat banding. Kondisi ini, kata Kurnia, yang membuat masyarakat tak percaya hingga akhirnya tak peduli.

"Jadi bagaimana mungkin pemberian efek jera dan bagaimana masyarakat akan percaya kalau tindakannya masih seperti itu," kata Kurnia kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/3).

Kurnia mengatakan proses hukum perkara korupsi juga kerap bersinggungan dengan dimensi politik ini yang membuat perkara tersebut bisa diintervensi. Tuntutan pidana dan vonis yang rendah juga memiliki andil besar.

"Ini juga menggambarkan dua hal, pertama memberikan efek jera kepada pelaku, kedua yang paling penting adalah isu pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.

Di sisi lain, Kurnia menyebut total kerugian negara dalam suatu perkara korupsi juga tak sebanding dengan uang pengganti yang diterima negara. Ia melihat ada yang besar antara total kerugian negara dengan total uang pengganti.


Sepanjang 2019, ICW mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp12 triliun, namun total uang pengganti yang diterima negara hanya sekitar Rp748 miliar.

"Jadi gap tersebut kan bertolak belakang dengan tujuan penindakan korupsi, karena korupsi itu adalah financial crime, titik dekatnya tidak hanya pemidanaan penjara atau pemidanaan badan, tapi juga masuk dalam isu pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari melihat aparat penegak hukum terlalu fokus menghukum pidana para koruptor. Menurutnya, sanksi pidana bukan satu-satunya cara untuk memberikan efek jera.

Feri menyebut para penegak hukum harus membuat alternatif memberi sanksi sosial untuk terdakwa korupsi. Sejumlah negara, lanjutnya, sudah menerapkan sanksi sosial kepada para koruptor dan Indonesia semestinya bisa meniru.

Ia memberi contoh sanksi sosial yang bisa diberikan, seperti misalnya dalam kasus korupsi dana pendidika. Para terdakwa dalam kasus tersebut dapat dikenakan hukuman tambahan berupa bekerja di lingkungan sekolah atau kampus.

Selain itu, kata Feri, pelaku korupsi dana bantuan sosial juga bisa dijatuhi sanksi tambahan untuk menjadi relawan. Menurutnya, hakim setidaknya sudah menerapkan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik bagi politisi atau pejabat publik.

"Begitu mereka diberi sanksi mereka kehilangan itu, kehilangan hak memilih dan dipilih misalnya dalam kurun waktu 10 tahun, itu sudah membuat mereka luar biasa jera karena mereka enggak bisa ngapa-ngapain," ujarnya.

Feri menyebut pihak swasta yang terlibat korupsi juga bisa dikenakan sanksi sosial. Seperti larangan berbisnis kembali usai bebas dari penjara atau menjadi pekerja sosial.

"Itu akan jauh memberikan efek jera dari hanya sekedar pidana orang, korupsi ratusan miliar keluar dari penjara dia masih tetap kaya," katanya.

Lebih lanjut, Feri mengatakan vonis ringan juga masih menjadi momok tersendiri dalam penegakan hukum kasus korupsi. Sering kali sanksi pidana bagi kasus kriminal biasa justru jauh lebih tinggi dibanding vonis kasus korupsi.

Menurutnya, ketidakadilan vonisi ini akhirnya membuat publik menjadi kurang percaya terhadap proses hukum kasus korupsi, sekalipun kasus yang ditangani penegak hukum merugikan negara hingga triliunan rupiah.

"Makanya rasa apatis itu muncul karena hukum belum mampu membuktikan sesuatu kepada publik soal keadilan," ujarnya.

Di sisi lain, Feri menuturkan ketidakpedulian publik terhadap kasus korupsi triliunan rupiah ini juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan tingkat pemahaman tentang korupsi. Sebagian besar masyarakat, juga mementingkan bagaimana mereka bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

"Bagi publik yang penting ngebul dulu lah dapurnya. Padahal relasi dapur mereka yang ngebul itu dengan pemberantasan korupsi sangat dekat, jika kemudian koruptor bisa digagalkan setiap aksinya di tanah air, bukan tidak mungkin banyak hak-hak publik yang bisa terpenuhi," kata Feri.

Pemberantasan korupsi di Indonesia tengah dalam sorotan setelah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 hanya 37 poin atau merosot tiga poin dari tahun sebelumnya.

Catatan itu membuat posisi Indonesia berada di papan tengah. Indonesia bertengger di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan survei Transparency International Indonesia (TII).

Di level ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40).

(P.I)

Post a Comment

0 Comments