Ticker

6/recent/ticker-posts

Tanpa Lampu PLN, Generasi Milenial Bangkit | LihatSaja.com

LIHATSAJA.COM - Saat daerah lain telah berkembang dan masuk ke era industri 4.0, salah satu desa di Kabupaten Langkat  masih hidup dalam kegelapan.

Bagaimana perasaan dan hati anda ketika hidup di sebuah daerah terpencil yang terisolir tanpa listrik ? Pastinya anda merasa gelisah karena tidak bisa menikmati fasilitas penerangan lampu PLN pemerintah.

Tapi, hal ini sudah biasa dirasakan warga dan generasi milenial di desa kami. Desa Barak Induk, Kelurahan Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Dimana letak strategis wilayah penduduk kami tepat berada dibawah kaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). 

Tak banyak yang tahu dimana letak desa kami ini, desa yang berdiri di ujung pelosok  kota dan mulai diduduki warga sejak tahun 1999. Kala itu, orangtua kami adalah sebagai korban konflik aceh. 

Mereka diusir dan tidak tahu harus kemana dan tinggal dimana untuk bertahan hidup dan memperjuangkan nasib keluarga.

Setelah mereka keluar dari aceh, mereka mendapat kabar dari saudara-saudara yang ada di langkat bahwa ada lahan tidur yang bisa dimanfaatkan untuk orangtua kami bisa beristirahat. 

Setibanya di wilayah ini, masa itu, ada beberapa lembaga lokal yang sangat prihatin melihat kondisi orangtua kami sehingga mereka membantu secara kemanusiaan dari sembako sampai pemberdayaan usaha, pertanian dan lain lain.

Setelah hampir satu tahun mereka mendiami wilayah ini sebagai lahan tidur, pada tahun 2000an para orangtua yang senasib dan sepenanggungan sesama pengungsi pasca korban konflik ini, mereka sepakat membentuk sebuah organisasi  yang mereka beri nama Petani Indonesia Pengungsi Aceh (PIPA). Dengan visi "Mengembalikan kepercayaan pengungsi yang hancur akibat konflik dan terpenuhi kebutuhan dasar pengungsi". 

Seiring berjalannya waktu para orangtua memikirkan kebutuhan anak-anaknya dalam bidang pendidikan, jadi para orangtua kami mendirikan sarana pendidikan sekolah dasar yang diakui menginduk ke SD Aman Damai yang dikelola empat  orang guru honor dari Barak Induk. Beberapa tahun telah berlalu.

Saat itu pemerintah kembali menawarkan tiga pilihan kepada orangtua kami, yaitu kembali ke aceh, transmigrasi atau relokasi. Namun orangtua kami tidak memilih ketiga-tiganya karena pemerintah tidak bisa menjamin keamanan dari ketiga-tiganya.

Orangtua kami hanya tidak mau di jadikan pengungsi untuk yang kedua kalinya. Dengan sangat terpaksa, mau tidak mau orangtua kami harus bisa hidup di Desa Barak Induk ini.

Kisah kelam dimasa itu dan alam menjadi saksi bisu. Kisah kelam orangtua kami yang pahit dan sekarang menjadi cerita sejarah bagi kami generasi milenial desa. Pertama masuk kewilayah ini yang masih sangat minim penduduk dan sekarang mengalami pemekaran. 

Yang pada kala itu juga, desa yang orangtua kami dirikan ini masih penuh dengan kegelapan. Yang untuk menerangi malamnya saja  hanya dengan  menggunakan lampu minyak tanah atau 'sentir' biasa orang awam menyebutnya, obor dan lampu petromax. 
Rabu, 31 maret 2021. Kurang lebih 22 tahun lamanya desa ini telah berdiri, tapi keadaan desa kami masih dengan ketiadaan penerangan lampu PLN. 

Sampai sekarang sumber penerangan dimalam hari kami hanyalah menggunakan mesin dompleng yang ada disetiap lorong dari desa kami. Yang hanya menerangi malam kami dengan mesin itu dari pukul 18.00 WIB sampai pukul 23.00 atau 24.00 WIB. 

Dengan penuh rasa semangat dan tanpa keluh kesah. Banyak dari kami para generasi milenial dilahirkan dan tumbuh dewasa di desa yang tercinta ini. 

Suatu kebanggaan yang sangat luar biasa tampak diraut-raut wajah para generasi milenial yang lugu dan polos. 

Rasa iri dan sedih pada generasi milenial di desa ini pasti ada. Tapi tidak mengapa, 22 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan generasi milenial mampu bertahan sejauh ini. 

Generasi milenial desa tetap semangat untuk menjalankan kehidupan melewati hari-hari demi menggapai cita-cita mulia.

Habis gelap terbitlah terang. Walau tanpa penerangan lampu PLN, semangat tinggi generasi milenial di desa ini tak pernah pudar. 

Mereka banyak membentuk kelompok kecil untuk menjunjung tinggi toleransi dan rasa cinta kekeluargaan. Mereka juga banyak membuat jenis kegiatan yang membuat mereka tidak selalu terpuruk dalam rasa ketidak adilan. 

Membentuk Remaja Mesjid yang dalam setiap minggunya selalu mengadakan wirid atau yasinan supaya ada kegiatan yang berguna di malam-malam tertentu dengan hari yang sudah disepakati. 

Mereka juga sempat membuat wisata kecil diujung desa yang terletak di tepi sungai. Yang dari sungai ini juga selalu dimanfaatkan airnya oleh para warga untuk mencuci baju ketika kemarau tiba. 

Tidak lain dan tidak bukan tujuan mereka untuk membangun sebuah wisata kecil ditepi sungai itu untuk memperkenalkan desa agar desa ini tidak terkucilkan, dan besar harapan ingin dipublikasikan bahwa desa ini memiliki para generasi milenial yang tangguh dan kompak. 

Tak heran, apalagi  di era digital seperti sekarang ini yang mampu mendorong mereka untuk dapat berfikir kritis dan bertindak global sesuai perkembangan zaman. 

Mereka yang harus berusaha kuat mengikuti zaman modern, mengemukakan digital, mengharuskan belajar dengan gadget membuat mereka harus bergelut dengan jaringan. Kini mereka semakin tumbuh dewasa. 

Harapan mereka sekarang pemerintah segera perduli terhadap desa ini agar segera disalurkan listrik sehingga tidak larut dalam kegelapan.

Sundari, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN langsa, KPM 2021, DPL Nur Hanifah S. Pd. I, M.A.


(R. G. D)

Post a Comment

0 Comments